Penegakan Hukum
Indonesia, Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas
Istilah
ini mungkin sudah lumrah di masyarakat Indonesia saat ini bahwa, hukum di
Indonesia timpang sebelah atau dalam tanda kutip “Tajam ke bawah dan Tumpul ke
atas” maksud dari istilah tersebut adalah salah satu sindiran nyata bahwa
keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah. Coba
bandingkan dengan para koruptor yang notabene adalah para pejabat kelas ekonomi
ke atas, mulai dari tingkat anggota DPRD hingga para mantan menteri juga
terjerat dengan kasus korupsi.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering menemui perkara-perkara kecil tapi dianggap
besar dan terus dipermasalahkan yang sebenarnya bisa di selesaikan dengan sikap
kekeluargaan, namun berlangsung dengan persidangan yang tidak masuk akal.
Sementara, di luar masih banyak koruptor yang berkeliaran dengan senang dan santainya
menikmati uang rakyat yang acap kali disalah gunakan untuk hal yang bersifat
pribadi, bukannya untuk menyejahterakan rakyat, namun malah digunakan untuk
hal-hal yang membuat seseorang itu menderita.
Penegakan
hukum berbagai kasus di negeri ini acap kali mengingkari rasa keadilan yang
menyengsarakan masyarakat, diskriminasi hukum kerap dipertontonkan aparat
penegak hukum. Yang lebih ironi ketika anak seorang pejabat tinggi menjadi
tersangka kasus kecelakaan yang menewaskan 2 orang tidak ditahan penyidik.
Sejatinya, kasus pendekatan ini bisa di selesaikan dengan kearifan lokal yang
baik atau pendekatan sosial kultural kekeluargaan.
Kondisi
hukum masih seperti ini, ketika berhadapan dengan orang yang memiliki
kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun uang, maka hukum menjadi tumpul.
Tetapi, ketika berhadapan dengan orang lemah, yang tidak mempunyai kekuasaan
dan sebagainya. Hukum bisa sangat tajam. Hal ini terjadi karena proses hukum
itu tidak berjalan secara otomatis, tidak terukur bagaimana proses penegakan
hukumnya. Seharusnya, ketika ada kasus hukum kita bisa melihat dengan cara yang
matematis. Perbuatannya apa, bagaimana prosesnya, bagaimana proses
pembuktiannya, bagaimana keputusannya. Kalau ini diterapkan, proses
penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik. Tetapi, banyak
anomali-anomali yang terjadi. Misalnya kasus pencurian, tuduhannya pencurian,
tetapi anomali yang terjadi bisa saja berbeda atas kedudukan status sosialnya.
Jika nanti kasusnya terjadi kepada yang status sosial kalangan bawah, maka
proses penegakan hukumnya cepat dan mudah dalam penahanan. Namun sebaliknya
jika terjadi pada orang yang status sosialnya tinggi yaitu berkuasa dalam
masalah keuangan dan politik. Inilah yang menjadi problema dalam kasus seperti
ini jangan sampai terulang kembali kejadian dalam kasus ini sangat kontroversi,
dan menyengsarakan masyrakat yang tentunya dipertanyakan bahwa di manalah
keadilan bagi “wong cilik”. Masyarakat sering tidak percaya dengan proses
hukum, nantinya masyarakat akan melihat bahwa dalam melihat proses penegakan
hukum ini bisa melihatnya dengan keadilan.
Melihat
dari perspektif hukum yang pernah di jalani, sebenarnya bila ada laporan
tentang sebuah kejadian yang diduga sebagai tindak pidana, tugas polisi adalah
mengumpulkan informasi atau data yang masuk sebanyak-banyaknya, yang dapat
dikategorikan sebagai alat bukti atau barang bukti sehingga mengkonstruksikan
apakah dari informasi dan data ini atau dapat mengkonstruksikan pasal pidana.
Selanjutnya dari anatominya yang melihat unsur-unsur dari jaksa dan selanjutnya
masuk dalam proses pengadilan. Dalam proses penegakan hukum Terminologinya
adalah “barangsiapa” jadi siapa saja bisa mengalami proses hukum. Nanti jika
yang menyangkut soal kepemilikan dipersoalkan tersendiri.
Keadilan
“hukum” bagi kebanyakan masyarakat seperti barang mahal, sebaliknya barang
murah bagi segelintir orang. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang
yang memiliki kekuatan dan akses politik serta ekonomi saja. Kondisi ini sesuai
dengan ilustrasi dari Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil,
bahwa Downward
law is greater than upward. Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau
gugatan oleh seseorang dari kelas “atas” atau kaya terhadap mereka yang
berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan
memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih
mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit
untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187).
Fenomena
ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik hukum di negeri ini.
Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai
daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita sedang bermasalah. Menurut
Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan
masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya. Keterpurukan hukum di
Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law
enforcement semakin memburuk.
Gambaran
ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa
aparat penegak “hukum” kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan “hukum”
kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam
hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik
penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat
legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral
dan sosial sangat lemah.
Ada
diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak
memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan.
Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja.
Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin
dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang
terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan.
Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain
adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan
positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali
mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber”hukum” para penegak hukum tanpa
nurani dan akal sehat.
Karena
itu, di tengah keterpurukan praktik ber”hukum” di negara kita ini yang
mewujudkan dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa
kelompok masyarakat miskin. Sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan
menerapkan hukum secara legalistic-positivistic,
yakni cara ber”hukum” yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule
bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum, yang dalam istilah
Satjipto Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah
satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha
keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik.
Dengan pendekatan yuridis-sosiologis,
diharapkan selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih
riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini
mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.
Untuk
itu diperlukan penegak hukum yang berintegritas dan berkomitmen tinggi untuk
melakukan penegakan hukum khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi. Artinya
polisi, jaksa, dan hakimnya juga harus benar-benar bersih terutama pimpinannya.
Jangan sampai kejadian tahun perseteruan KPK vs Polri terulang lagi. Karena
penegak hukum yang bersih merupakan modal yang sangat kuat dalam penegakan
hukum yang didambakan. Ibaratnya menyapu ruangan yang kotor tentulah dengan
sapu yang bersih.
(https://www.lpmdinamika.co/serba-serbi/opini/penegakan-hukum-indonesia-tajam-ke-bawah-tumpul-ke-atas/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar